Ilustrasi oleh Hafizh Dhiyaulhaq
Kami bertemu di tahun 1999, situasi pada waktu itu sangat tidak menentu lataran dinamika sosial dan politik. Kami bertemu di Internet, ya, pada waktu itu sudah ada internet. Saya bukan dari keluarga mampu yang bisa mengakses internet ataupun komputer selagi saya tumbuh dalam kedewasaan. Saya mengenal internet tahun 1990, dari komputer teman kuliah, dan kampus. Tahun 1999 itu, Saya mengakses internetpun dari komputer kantor, setelah jam kantor usai. Kami bertemu di suatu website yang mempunyai fitur percakapan. Kami berkenalan dan berargumentasi tentang stereotipe, dan internalisasi rasisme yang kami miliki. Kami memiliki kesamaan yaitu kami berdua mengalami trauma, dan kami percaya bahwa rentetan diskusi itu merupakan proses penyembuhan bagi kami berdua. Kecocokan ini menyebabkan kami membahas hal-hal yang menyangkut hal tersebut secara intens dalam setiap pertemuan online. Tidak terasa waktu 3 bulan berlalu, kemudian kami memutuskan untuk bertemu.
Di awal pertemuan, tidak terlintas sama sekali bahwa kami akan menjadi pasangan, kami hanya berteman, murni pertemanan tanpa ada ekspektasi lainnya. Setelah setahun, kami melihat ada kecocokan dalam hal pandangan hidup, perspektif kehidupan, minat, dan kegiatan sosial yang kami bisa lakukan berdua. Lalu kami menapak ke hubungan yang lebih intim lagi, menonton film bareng, berkeliling kota Jakarta bersama, menghabiskan akhir minggu dengan kegiatan yang mendukung minat kami berdua. Tak terasa sudah 15 tahun ‘berpacaran’, kami memutuskan untuk menikah.
Ide menikah tersebut bukan karena keinginan romantis untuk menjalin rumah tangga, tetapi lebih mengarah ke ide-ide pragmatis, yaitu kemudahan ketika harus mengurus visa, menyewa kamar hotel di berbagai negara, dan imigrasi. Kami memang mempunyai minat sama yaitu bepergian, baik ke kota-kota, desa-desa di Indonesia, maupun luar negeri. Kami menginginkan kesamaan hak yang didapat oleh teman-teman heteroseksual, yaitu semua kemudahan dan keamanan yang mereka miliki. Menikah adalah usaha kami untuk kesetaraan.
Hans memutuskan bahwa sebelum kami menikah, dia akan ke Surabaya, kota di mana orang tua saya menetap, untuk memohon restu atas rencana kami. Bapak dan Ibu memang sudah mengetahui dan merestui hubungan kami berdua, tapi kami berpikir bahwa kabar pernikahan akan mengagetkan. Ternyata ketika kami menghadap kedua orang tua, semuanya berjalan mulus, Bapak memutuskan untuk tidak ikut setelah kami ceritakan bahwa perjalanan pesawat akan melelahkan.
Kami mulai mempersiapkan semua dokumen yang dibutuhkan untuk pernikahan tersebut. Semua dokumen harus dilegalisasi di Kemenkumham dan diterjemahkan ke bahasa Belanda, lalu diserahkan ke Kedutaan Belanda di Jakarta untuk mendapatkan pengecekan keabsahannya.
Kami menikah di Belanda, di sebuah kastil kuno yang didirikan pada abad ke 14. Ibu serta adik perempuan saya menjadi pendamping dalam pernikahan kami. Pada saat legalisasi pernikahan ini, pejabat yang menikahkan kami bertanya mengenai rencana saya untuk tinggal di Belanda, dan dengan tegas saya jawab, “tidak!”
Saya memang tidak berkeinginan untuk pindah negara ataupun menetap di Belanda. Dari sejak kami bersama, keputusan untuk menetap di Indonesia itu sangat kuat. Ada beberapa alasan, orang tua saya sudah menua, adik saya mempunyai disabilitas, sehingga mereka butuh pendampingan dari kami. Saya juga selalu bilang ke teman, Angkringan tidak ada di Eropa.
Kami sudah bersama selama 24 tahun dan masih tinggal di sini, banyak sekali perubahan yang kami alami. Kami menyadari bahwa kami mengalami internalisasi rasisme dikarenakan kami berdua adalah pasangan beda etnis, kami mempercayai stereotipe yang beredar di masyarakat tentang kedua etnis yang kami miliki. Hans adalah orang Belanda, dan saya memiliki budaya Jawa dan Asia. Kami juga menyadari kami memiliki internalisasi homofobia, yaitu ketakutan-ketakutan tidak rasional terhadap pasangan sejenis. Kami mulai membaca buku-buku menyangkut permasalahan tersebut, dan bahkan saya memutuskan untuk mengambil program pasca sarjana di bidang psikologi sosial. Saya mengakui bahwa saya melakukan rawat jalan dengan menempuh program studi psikologi sosial ini.
Saya mencoba mengamalkan dengan membagi ilmu yang saya pelajari atau jurnal penetian yang saya baca, lewat media sosial, terutama Tiktok, untuk membantu komunitas dan mencoba mengurangi prasangka, stigma dan diskriminasi terhadap teman-teman dari minoritas terutama minoritas seksual.
Kami juga belajar mengenai heteronormativitas yang mempengaruhi hubungan kami dari awal. Hubungan romantisme pasangan sejenis ini jarang bisa terlihat, sehingga kami kesulitan untuk mencari panutan. Panutan yang kami lihat adalah pasangan-pasangan heteroseksual dalam keluarga dan teman-teman terkasih. Masyarakat menganggap bahwa harus ada hierarki dalam hubungan kami, yaitu posisi dominan dan submisif. Bahwa penetrasi adalah keharusan. Bahwa harus ada yang menjadi ‘istri’ dan ‘suami’. Bahwa ada yang fokus bekerja untuk mencari uang, dan pasangannya merawat rumah dan memasak. Masyarakat berharap kami harus mempunyai anak, baik secara adopsi atau pinjam rahim. Kami menjadi terbelengu oleh norma-norma heteronormativitas, bahkan kami juga dirundung karena anggapan hubungan yang ‘normal’ dan wajar adalah hubungan heteroseksual.
Semakin dewasa hubungan kami, semakin kami mengukuhkan bahwa hubungan ini berbeda dengan hubungan heteroseksual. Kami mempunyai aturan-aturan buah diskusi bersama. Kami menjalin hubungan setara, tidak ada hierarki, tidak ada dominasi, sebab memang pada dasarnya semua manusia setara. Kami berdua juga secara mandiri membiayai kehidupan kami berdua, dan kami juga merawat rumah dan memasak bersama. Kami memilih bebas dari tanggung jawab membesarkan anak, karena sadar bahwa kami tidak mampu membesarkan anak hingga mereka bisa terbebas dari norma, dan mencapai kebahagian yang mandiri. Kami bukan heteroseksual.
Norma bisa berubah. Selama masa hubungan kami sejak 1999, kami merasakan perubahan perubahan norma di masyarakat. Masa reformasi baru dimulai, banyak sekali terjadi konflik-konflik untuk mempertahankan ideologi, maupun memulai ideologi. Pada zaman orde baru, hubungan kami bukan sesuatu yang harus disembunyikan, kami memang tidak bisa bersembunyi, pasangan berbeda warna kulit. Ketika kami berjalan-jalan di mall, ketika kami makan bersama, ketika kami menonton bioskop, orang akan tahu hubungan istimewa kami. Kami merasakan validasi dari orang-orang yang kami lewati, yang berada di sebelah meja makan kami, yang ada di belakang kursi kami. Perlakukan diskriminatif sangat jarang kami dapatkan di tempat umum. Kami juga sering berkumpul dengan teman-teman, dan membicarakan secara terbuka topik-topik minoritas seksual, tanpa harus berbisik-bisik. Tanpa takut ketahuan sebagai minoritas seksual. Kami bahkan sering menghadiri film festival yang khusus menampilkan film-film mengenai topik minoritas seksual, Qfilm Festival dan Jakarta Film Festival. Banyak film-film Indonesia yang menampilkan cerita mengenai kehidupan teman-teman minoritas seksual diproduksi dan dipertontonkan di bioskop. Kami bisa bangga dan bersuka ria menjadi diri sendiri pada masa itu.
Tapi norma tersebut berubah drastis 5 tahun kemudian. Ideologi baru dipaksakan, orang-orang berteriak kencang di jalanan dan tempat ibadah, kekerasan verbal dibiasakan, perbedaan dihujat. Kami mulai merasakan tatapan-tatapan tajam dari orang-orang, bisikan-bisikan yang keras terdengar oleh kami, bahkan kursi kami di bioskop ditendang-tendang dari belakang dengan maksud mengganggu kami. Qfilm Festival yang kami banggakan, pada akhirnya berhenti karena ancaman dari ormas baru yang mengusung ideologi baru juga. Film Indonesia ketakutan untuk menampilkan sosok-sosok berbeda dari kebanyakan. Terjadi sensor yang sangat ketat pada tayangan TV, lepas munculnya lembaga sensor yang lebih mengacu norma baru yang mediskriminasi kami dan teman-teman. Media sepertinya secara serentak, secara konformitas, menuliskan sentimen-sentimen negatif terhadap minoritas seksual. Masa waktu itu, banyak teman-teman kami yang memilih untuk bersembunyi, tidak menampilkan identitas dan jati diri mereka.
Perubahan norma terjadi lagi ketika sosial media muncul di Indonesia. Sejak tahun 2007, Facebook muncul dengan mengusung prinsip kebebasan berpendapat. Youtube menjadi popular di tahun 2010. Banyak sekali informasi-informasi mengenai minoritas seksual pada saluran-saluran edukasi. Banyak orang menjadi lebih mengerti mengenai perbedaan-perbedaan pada masyarakat. Masa-masa kegelapan secara pelan-pelan menjadi lebih terang. Pengaruh pendidikan yang secara global didukung oleh internet ini terlihat dari perspektif-perspektif baru dari generasi Z, generasi yang melek internet. Pemimpin negara yang menyuarakan sentimen negatif, ditentang dan dipatahkan oleh generasi pintar ini. Bahkan, ketika Tiktok hadir, muncul pula kreator konten yang menampilkan jati diri sebenarnya. Masyarakat mulai mengenal sosok-sosok dari minoritas seksual. Puncak kegembiraan adalah, ketika Prof. Mahfud MD, mengutip Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan dengan tegas bahwa minoritas seksual adalah kodrat, mereka memang dilahirkan seperti itu. Saya menulis ini di bulan kebanggaan, Pride Month, bulan Juni. Bahwa saya bangga menjadi minoritas seksual di Indonesia, kami semua memang dilahirkan seperti ini, menjadi manusia yang juga punya keterbatasan, bukan manusia super dan suci yang diharapkan masyarakat.
Jakarta, 5 juni 2023