Ilustrasi oleh Hafizh Dhiyaulhaq
Walau baru 3 tahun, 2020 sekarang seperti sebuah dunia khayalan. PPKM, laporan kasus COVID harian, pertunangan yang saya bicarakan di podcast LoveBuzz season 4. Hal-hal tersebut sudah menjadi bagian dari sejarah. Pada Juli 2021, saya dan pasangan saya memutuskan untuk tidak melanjutkan hubungan kami. Setelah berbulan-bulan menjadi satu-satunya orang di luar keluarga inti yang secara rutin saling menemani, kami menyadari kalau kami menginginkan hal yang berbeda dari hidup masing-masing. Saya curiga PKM membuat kami sungguh-sungguh menyadari kalau kami tidak memiliki visi hidup yang sama. Tiga setengah tahun hubungan, termasuk 1 tahun pertunangan, kami akhiri. Perpisahan kami cukup emosional, tapi saat itu tidak ada perasaan benci. Saya memutuskan untuk meninggalkan Jakarta, mencari suasana baru. Saat itu, dia bahkan mengantarkan saya untuk mencari tempat tinggal baru di luar kota.
Hidup sendiri setelah terbiasa bersama cukup menantang. Setelah terbiasa membuat rencana bersama, berkegiatan bersama. Lucunya, pandemi membuat saya tidak merasa sendiri saat awal kembali melajang. Saat semua orang terisolasi dan harus saling menjauh, kesendirian saya terasa tidak menyedihkan. Setelah beberapa minggu melajang, saya mulai berintrospeksi tentang hubungan yang kemarin saya jalani. Menanyakan diri sendiri: kenapa sih perpisahan ini membuat saya sedih? Apa yang dicari dari pertunangan kemarin?
Salah satu masa yang cukup memengaruhi proses introspeksi saya adalah ketika–sesuai dengan stereotip pria gay di usia saya–saya menonton seluruh franchise Sex And The City secara berturut-turut, saya paling bisa relate dengan Miranda, dan kadang Samantha. Di film Sex And The City pertama, Samantha menjalani hubungan jangka panjang dengan seorang Jarrod Smith, aktor yang pertama bertemu dengannya di season terakhir serial TV SATC. Tetapi, seiring berjalannya waktu, Samantha menyadari kalau hubungannya dengan Jarrod membuat dia tidak bisa menjadi dirinya sendiri dan pada akhirnya mereka berpisah. Di film SATC kedua, Samantha dan Jarrod berteman dan saling mengakui kalau, walau hubungan mereka kandas, tetapi hubungan tersebut membawa hal-hal baik dalam hidup mereka.
Melihat hubungan Samantha dan Jarrod, dan memproyeksikannya ke hubungan saya dan mantan, membuat saya sadar bahwa selama ini saya memiliki definisi yang sangat sempit tentang apa yang bisa dianggap sebagai hubungan yang ‘berhasil’. Definisi ini saya sebut ‘monogami sampai mati’. Ini karena, secara umum masyarakat kita menganggap kalau hubungan romantis yang berhasil adalah ketika hubungan tersebut monogamis dan berlangsung hingga salah satu pasangan meninggal dunia. Hubungan yang berhasil adalah pernikahan yang langgeng sampai kematian. Perceraian dan putus dianggap sebagai sebuah kegagalan. Di sini saya sadar kalau saya menilai diri sendiri dengan parameter yang hampir pasti akan membuat saya melihat diri sendiri sebagai kegagalan. Menjalin hubungan monogami jangka panjang bukan hal mudah bagi orang-orang heteroseksual, apa lagi bagi dua pria gay yang hidup di tengah homofobia. Kemungkinan berhasilnya monogami sampai mati bagi kami tidaklah tinggi.
Rencana awal kami bertunangan adalah: menikah di luar negeri, sehingga jika salah satu dari kami mendapat pekerjaan di negara yang mengakui pernikahan sejenis yang satunya lagi dapat ikut dengan partner visa. Kami sadar pernikahan yang kami lakukan tidak akan memiliki efek legal apapun di Indonesia. Mencatatkan pernikahan antara dua lelaki secara legal di negeri ini adalah mimpi di siang bolong. Tetapi saya juga sadar, kalau pernikahan bukan hanya masalah legalitas.
Saya menyadari, salah satu alasan saya bertunangan dengan pasangan saya adalah untuk pembuktian diri. Sebagai individu, saya ingin membuktikan kalau saya cukup stabil dan well-adjusted untuk menjalin komitmen jangka panjang. Seorang pria gay, kerap dicap sebagai kelompok yang tidak bisa berkomitmen dan hanya mementingkan kenikmatan sesaat dalam hubungan. Saya ingin membuktikan, kepada orang-orang heteroseksual di sekitar saya, kalau hal itu tidak benar. Saya ingin dianggap ‘normal’. Saya cukup yakin kalau banyak pria gay lainnya yang juga ingin berkomitmen dan membangun rumah tangga, serta menganggap pernikahan–dengan seorang pria–sebagai sesuatu yang diidamkan. Tapi, sekarang saya sadar kalau keinginan menikah agar lebih bisa diterima oleh masyarakat adalah hal yang percuma. Orang-orang yang saya sayangi akan menerima saya apa adanya, dengan atau tanpa pernikahan. Sementara orang-orang homofobik di hidup saya mungkin malah akan makin meradang jika tahu saya menikah dengan pria lain.
Saya pun mencoba menilai diri sendiri dengan lebih pengertian. Saya mencoba meyakinkan kalau monogami sampai mati bukanlah satu-satunya jenis hubungan yang menandakan keberhasilan saya sebagai individu. Saya meyakinkan diri sendiri kalau diri saya sudah lengkap, bahkan tanpa pasangan. Ini bukanlah hal yang mudah. Perlu saya akui, mantan saya adalah orang yang sangat berbakti dan setia, hingga saya perlu mempelajari ulang cara menyayangi diri sendiri setelah hubungan kami bubar. Saya menaruh lebih banyak waktu dan energi ke komunitas queer, karena saya sadar selama berpacaran saya tidak terlalu banyak menjalin pertemanan dengan sesama pria gay atau orang-orang queer lainnya. Mungkin ini adalah bagian dari homofobia yang terinternalisasi dalam diri saya, dan saya ingin mengubah hal tersebut.
Membongkar pakem saya tentang monogami sampai mati sejauh ini membuat saya lebih santai dalam menjalin hubungan romantis dengan orang baru. Sebelumnya, saya sangat cepat menolak seseorang jika ada hal yang menurut saya adalah red flag untuk hubungan jangka panjang. Tetapi sekarang, setelah saya sadar tidak semua hubungan romantis harus bertahan sampai salah satu dari kami mati, saya jadi lebih santai dalam menilai orang baru. Jika memang tidak cocok, ya bisa berpisah dengan baik-baik. Tentu akan ada kesedihan dalam setiap perpisahan, tetapi menurut saya ini lebih baik daripada memaksakan diri untuk tetap menjalani hubungan yang tidak diinginkan oleh kedua belah pihak karena takut sendirian.
Saya mengakui dengan penuh hati kalau saya merasa butuh memiliki pasangan. Saya merindukan pasangan yang ada secara konsisten di hidup saya, seseorang untuk berbagi senang dan susah, untuk membangun kehidupan berdua. Jika saya menemukan orang yang cocok (dan juga merasa saya cocok untuknya), saya akan dengan senang hati menjalani hubungan berkomitmen dengan dia. Tetapi, jika ternyata orang tersebut tidak bisa selamanya ada di hidup saya, jika suatu hari jalur hidup membawa kami ke arah yang berbeda, saya tidak akan menganggap hubungan kami sebagai sebuah kegagalan. Saya akan menganggap hubungan kami sebagai keberhasilan. Semua hubungan adalah kesempatan untuk lebih mengenal diri kita sendiri, dan untuk mengenal apa yang bisa kita berikan kepada pasangan kita. Selain itu, adalah sebuah keberhasilan saat dua orang gay dapat saling menemukan dan mencintai di tengah masyarakat homofobik.
Hubungan saya, dan saya rasa hubungan semua orang-orang queer di Indonesia, adalah bukti kalau cinta tetap tumbuh. Walau diinjak-injak kebencian masyarakat, terus-menerus dicerabut dan diberangus oleh institusi yang berusaha melenyapkan kami, orang-orang queer akan tetap saling menemukan satu sama lain dan saling mencintai.
Ais adalah salah satu anggota kolektif arsip digital Queer Indonesia Archive, sebuah proyek pengarsipan materi-materi yang berkaitan dengan kehidupan dan pengalaman orang-orang queer di Indonesia. Dia biasa ditemukan bekerja dari sebuah kafe di Denpasar saat hari kerja, atau berjemur di salah satu pantai di Uluwatu pada akhir pekan.