Ilustrasi oleh Hafizh Dhiyaulhaq
Saya termasuk orang yang kurang beruntung ketika berbicara tentang cinta, maksud saya jika perngertian “cinta” disempitkan maknanya menjadi relasi romansa (eros) yang terjadi antar pasangan. Sampai hari ini saya merasa belum menemukannya. Saya belum menemukan cinta versi ideal sebagaimana ekpektasi yang bercokol di dalam benak saya. Semisal, sebagai seorang manusia, saya memiliki impian untuk dapat menglorifikasi romansa yang saya miliki dengan pasangan. Saya ingin berjalan kaki sambil berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, atau… dalam ranah yang lebih jauh dan legal, saya memiliki impian untuk menikah dan membangun rumah tangga layaknya pasangan heteroseksual. Tapi pertanyaannya, siapakah pasangan saya? Bisakah hal-hal romansa yang saya impikan tersebut dilakukan di Indonesia? Atau, –untuk hal yang ini, sering kali saya memang masih sering bergulat dengan diri sendiri, apakah saya benar-benar menginginkan pernikahan selayaknya pasangan heteroseksual yang lengkap dengan segenap tetek-bengek tanggung jawab dan konsekuensi yang menyertainya? Jujur, dalam hati, ada beberapa hal di dalam konstruksi perkawinan heteroseksual tradisional yang tidak saya sepakati. Misalnya, jika hal tersebut dikaitkan dengan tumbukan identitas kekristenan saya, adalah soal kesetiaan. Saya belum bisa 100% menerima dan siap dengan tanggung jawab monogami.
Beberapa percakapan dan tulisan Simone de Beauvoir (Second Sex), lantas membawa saya pada pemahaman tentang apa sebenarnya yang saya butuhkan di dalam relasi romansa. Setidaknya, bagi saya pribadi, ada 4 aspek/kriteria ketika saya mencoba untuk mendefinisikan kebutuhan saya atas relasi romansa, yakni: fisik, romansa, seksualitas dan intelektualitas. Fisik menyangkut ketampanan, tato, dan tubuh yang liat berotot versi saya. Romansa menyangkut seberapa romantis perhatiannya. Seksualitas menyangkut seberapa hebat dan memuaskan ia di ranjang. Dan terakhir, intelektualitas adalah seberapa pandai ia. Kriteria terakhir ini sepertinya adalah kriteria yang rada-rada sulit karena menyangkut apakah ia bisa menjadi teman ngobrol dan sparing partner yang oke, seberapa terbuka ia akan perbedaan ideologi –termasuk ideologi agama, dan juga seberapa terbuka dan sensitif perspektif pasangan saya tersebut terhadap keragaman gender dan inklusi sosial. Jujur, saya kerap patah pada aspek keempat tersebut dan menyebabkan relasi romansa saya hanya sebatas hubungan atau pemenuhan kebutuhan seksual.
Empat aspek tersebut adalah empat hal yang penting bagi kehidupan relasi romansa saya dan yang juga saling berkelindan, yang tak saling menegasikan atau ada satu aspek yang lebih penting dari aspek yang lainnya. Namun, kembali lagi, ketika menyangkut pengalaman ketubuhan saya, saya merasakan bahwa tak satu orang pun dari sekelompok laki-laki yang saya sukai atau dekat dengan saya –that I have crush on him, memiliki keempat aspeknya. Sebagaimana promosi barang-barang yang banyak beredar di media sosial, ia “dijual terpisah”. Ada yang memiliki sisi romansa saja, tapi tidak di fisik dan intelektualitas. Aspek fisik terpenuhi, tetapi tidak secara intelektualitas. Ada yang sesuai dengan kriteria seksualitas yang saya inginkan, tetapi kurang menarik secara fisik dan romansa, apalagi intelektualitas. Atau ada yang memiliki sisi intelektualitas, tetapi sayangnya saya tak mendapati kenikmatan apapun dengan lelaki tersebut saat kami bercumbu dan menikmati kemesraan. Itulah kenapa di awal paragraf di atas, saya mengatakan jika saya tidak merasa beruntung ketika menyangkut masalah asmara, terlebih jika dikaitkan dengan kesepakatan atau aturan monogami di dalam identitas kekristenan saya.
Empat aspek tersebut pun saya coba share dan diskusikan dengan beberapa kawan dekat saya. Mereka pun bersepakat dengan saya, bahwa keempat aspek tersebut juga menjadi pergulatan mereka (bahkan bagi mereka yang heteroseksual dan yang telah menikah) dan mereka pun setuju jika keempat aspek tersebut juga sangat sulit dan tak pernah mereka temui ada pada satu orang. Tak pernah ada paket all in one, kata mereka. Hal yang tak pengen saya amini sebenarnya, sebab saya masih ingin menemukan sosok tersebut. Hahahaha.
Pembicaraan saya dan rekan-rekan saya mengenai keempat aspek di atas pun biasanya berlanjut pada pertanyaan, “Jika memang demikian, jika memang tidak ada sosok pria atau manusia yang memiliki keempat aspek tersebut, manakah yang akan kamu pilih? Aspek manakah yang akan kamu utamakan?”
Tentunya di dalam perbincangan macam-macam jawaban dan alasan dari kawan-kawan saya. Ada yang lebih mempertimbangkan fisik atau seksualitas, tapi ada pula yang lebih merajuk pada sisi intelektualitasnya. Bagi saya, ketika pertanyaan tersebut ditujukan pada saya, tentu saya lebih meniktikberatkan pada sisi intelektualitas. Mengapa? Sebab saya tidak ingin jika saya mendapati diri saya terbangun di suatu pagi, di dalam kamar saya, dan saya mendapati orang yang tidur di sebelah saya sangatlah menyebalkan dan tidak nyambung jika diajak berbicara. Saya ingin pasangan yang mengerti apapun, terutama isu yang sedang ingin saya perbincangkan dengannya. Saya tidak ingin pasangan saya bukan orang yang literat, mencintai buku-buku juga sastra. Ya, saya tidak ingin pasangan yang hipermaskulin dan patriarki.
Apakah benar saya orang yang tidak beruntung masalah cinta?
Saya kerap memikirkannya. Benarkah saya orang yang tidak beruntung? Ah, tentu tidak. Seperti yang saya sampaikan, jika cinta diartikan sempit hanya pada hubungan romansa (eros) saya tentu memilih untuk mendefinisikan diri saya sebagai pihak yang tidak beruntung sebagaimana yang sudah saya sampaikan pada pengalaman dan pemikiran di atas, namun jika pengertian cinta ditarik di dalam batas-batas yang lebih luas atau queer love sebagaimana tema tulisan ini, maka dapat dengan pasti dapat saya sampaikan bahwa saya termasuk orang yang sangat beruntung. Bahkan, saya termasuk orang yang berprivilese soal cinta.
Bagaimana tidak, sejak kecil saya sudah memiliki orang tua rasa sahabat. Orang tua yang asyik banget buat diajak diskusi soal apapun, termasuk soal tubuh dan seksualitas. Sejak kecil saya pun dibebaskan untuk memilih agama atau keyakinan apa yang akan saya anut. Privilese tersebut mungkin disebabkan atau berkaitan dengan identitas kesukuan dan agama kedua orang tua saya yang berbeda. Lantas, saya pun mendapatkan banyak kasih dan cinta dari orang-orang di sekitar saya. Oma, Opa, kawan-kawan gereja, kawan-kawan kerja, kawan-kawan di komunitas dan organisasi, apalagi dari sahabat-sahabat saya. Saya merasa hidup saya penuh. Saya merasa hidup saya tumpah ruah akan kasih dan kebahagiaan dari mereka. Tak hanya kasih yang filia, saya rasa dari sisi spiritual (jika ini boleh dikatakan agape) dan rasa cinta yang berkaitan dengan lingkungan (storge) juga berasa full of charge.
Dalam kehidupan di dunia ini hampir bisa dipastikan saya tak pernah merasa sendiri. Bahkan saat ini, ketika saya merantau di Jakarta atau tinggal di pelosok-pelosok desa-kota lain di Indonesia untuk kepentingan riset tanpa punya sanak saudara, saya merasa penyertaan Tuhan senantiasa hadir dalam kehidupan saya. Jadi pertanyaannya, apakah saya termasuk orang yang beruntung atau tidak sih sebenarnya dalam hal cinta?
🙂
Love, Stebby.
Probolinggo, 3 Juli 2023.