Penolak Bala Kepercayaan Raja, Kawan Londri dan Jelita

Palu, Sulawesi Tengah 2021 | PHOTOGRAPH BY FERONIKA

Asri alias Mami Leni, 53 tahun adalah bayasa atau sando atau dukun adat di Desa Labuhan, Donggala, Sulawesi Tengah. Seorang bayasa biasanya beridentitas tolenda (transpuan) atau nabalaki (transpria).

Sejarah bayasa membentang jauh sejak masa kerajaan Bora di Sigi. Mereka dipercaya para raja untuk menghelat upacara pernikahan, Balia, tolak bala, sampai mengusir penyakit. Mami Leni tinggal di salon sederhananya ditemani Jelita (kucing) dan Londri (burung).

Fotografer serial foto ini adalah Feronika. Fey, sapaan akrabnya, bergabung dengan Gema Lentera Peduli Tadulako sejak 2018. Dia juga aktif sebagai paralegal YLBH APIK Sulawesi Tengah.

Asri or Mami Leni, 53 years old, is a bayasa or sando or a traditional shaman in Labuhan Village, Donggala, Central Sulawesi. A bayasa is usually identified as a tolenda (trans woman) or nabalaki (transman). 

The history of bayasa started a long time ago in the era of Bora Kingdom in Sigi – they were believed by the kings to lead marriage ceremonies, Balia, warding off misfortune, etc. Mami Leni lives in a humble salon with Jelita (a cat) and Londri (a bird). 

The photographer of this series is Feronika. Fey, her nickname, joined Gema Lentera Peduli Tadulako in 2018. She is also an active paralegal for Legal Aid Foundation APIK in Central Sulawesi

 
Scroll to Top