Ilustrasi oleh Hafizh Dhiyaulhaq
Menginjak usia seperempat abad, aku baru menyadari bahwa aku bukan laki-laki. Teman-temanku sibuk membagikan undangan pernikahan atau berita tentang kelahiran anak pertama mereka, sementara aku malah membagikan email tentang keputusanku untuk melakukan transisi menjadi seorang perempuan. Banyak dari teman-temanku yang bekerja di bidang kemanusiaan, dengan pandangan feminis yang kuat, menerima berita tersebut dengan senyuman lebar dan penerimaan. Namun, tentu saja, tidak semua orang memiliki reaksi yang sama.
Ada yang melontarkan pertanyaan tanpa batas tentang tubuhku, ada pula yang dengan lantang mengekspresikan ketidaksetujuannya terhadap identitasku. Beberapa bahkan langsung menghapus namaku dari daftar pertemanannya, baik dalam dunia digital maupun di dunia nyata.
Proses transisi menjadi seorang transpuan adalah suatu pengalaman yang sangat berbeda dibandingkan pengalaman hidupku sebelumnya. Perubahan-perubahan signifikan mulai dari nama, penampilan, dan berbagai hal lainnya menuntut banyak orang untuk beradaptasi. Aku sendiri juga masih harus beradaptasi dengan kehidupan baruku. Setiap aktivitas sehari-hari, seperti bekerja, berjalan di tepi jalan, naik kereta commuter line, atau menggunakan toilet umum, kini menjadi tantangan yang membutuhkan strategi tersendiri.
Namun, pengalaman yang paling menarik untuk kuceritakan adalah petualanganku mencari cinta dengan identitasku yang baru ini. Cinta adalah bagian penting dalam kehidupan manusia. Di tengah berbagai jenis kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh transpuan, memberikan dan menerima cinta adalah strategi bertahan hidup. Terutama bagi teman-teman transpuan sepertiku yang baru memutuskan untuk melakukan transisi, membutuhkan banyak cinta untuk bertahan, mulai dari proses transisi medis, sosial, hingga urusan administratif.
Cinta ada banyak ragamnya, cinta dari orang tua, cinta dari sahabat, dan lain sebagainya. Tapi cerita ini akan berfokus tentang cinta romantis antar manusia. Cinta seperti ini tidak selalu datang begitu saja. Kadang, kita harus mencarinya dalam berbagai ruang pertemuan dengan banyak orang yang juga mencari cinta. Salah satu ruang tersebut adalah aplikasi kencan online.
Aku pernah mencoba aplikasi yang aku sebut sebagai “Aplikasi Api.” Aplikasi ini seharusnya menjadi media pertemuan, namun seringkali justru menambah beban pikiran. Aku dan beberapa teman-teman transpuanku akunnya di-ban oleh aplikasi ini, karena ada pengguna lain yang melaporkan kami. Alasan mereka? Kami “tidak jujur” dalam melabelkan diri kami sebagai perempuan di profil kami. Padahal, kami juga adalah perempuan.
Selama aku menggunakan aplikasi tersebut, tidak ada opsi untukku mengidentifikasi sebagai transpuan. Pihak platform tersebut pun tidak mempertanyakan laporan-laporan yang masuk tersebut, walaupun jelas sekali bahwa laporan tersebut berbasiskan kebencian terhadap individu trans, atau yang sering disebut sebagai transphobia.
Aku juga mencoba aplikasi lain yang lebih dikenal dan banyak digunakan oleh sesama pria, tapi ternyata aplikasi ini juga bisa digunakan oleh transpuan seperti kami. Meski cukup inklusif dengan banyak pilihan identitas yang tersedia, aku sering merasa terasingkan karena mayoritas penggunanya bukan transpuan dan tidak tertarik pada transpuan.
Aku pernah merasakan bagaimana rasanya dicemooh dengan usernameku “trans,” diolok-olok sebagai “transportasi atau transmigrasi,” cemoohan seperti itu membuatku merasa tidak diterima di ruang tersebut. Selain itu, banyak komentar kasar dan merendahkan tentang tubuh transpuan seringkali dilontarkan.
Ada juga aplikasi kencan yang lebih inklusif, yang aku sebut sebagai “Aplikasi Lebah.” Di sini, aku bisa mengidentifikasi diriku dengan bebas. Aku merasa lebih aman di sini, karena menurutku, kebijakannya dibuat untuk melindungi perempuan, termasuk transpuan dan kelompok lain yang rentan.
Meski demikian, banyak yang mendekati kami hanya untuk sekedar hubungan singkat atau casual. Jangan salah paham, menurutku juga tidak ada yang salah dengan hubungan singkat. Namun, kami juga berhak mendapatkan hubungan romantis yang lebih serius dan bukan hanya dijadikan objek seksual.
Menemukan calon pasangan yang tampaknya cocok di permukaan bisa menjadi kelegaan yang sangat dibutuhkan. Namun, seiring berjalannya waktu, berbagai keanehan dalam berkomunikasi mulai muncul. Salah satu yang sering kudengar adalah keinginan mereka untuk menjalin hubungan yang discreet atau sembunyi-sembunyi.
Aku bisa mengerti alasannya. Mungkin mereka merasa malu untuk secara publik menyatakan cinta kepada seorang transpuan, mungkin takut penilaian sosial, atau mungkin merasa takut akan konsekuensi jika hubungan kami diketahui orang-orang terdekatnya. Tapi, apapun alasannya, hal ini selalu membuatku bertanya-tanya.
Mengapa cinta harus disembunyikan? Bukankah cinta itu sesuatu yang harus dibanggakan? Aku merasa ada batas antara mempertahankan privasi dan merasa harus bersembunyi. Privasi adalah ketika kita memilih untuk menjaga hal-hal tertentu untuk diri kita sendiri karena alasan pribadi. Tapi bersembunyi adalah ketika kita merasa harus menyembunyikan sesuatu karena takut akan penilaian atau reaksi negatif dari orang lain.
Menyedihkan rasanya jika hubungan cinta harus ditutup-tutupi, dianggap tidak layak untuk diperlihatkan, atau terlalu memalukan untuk diketahui orang lain. Aku dan semua transpuan bukanlah aib. Aku dan semua transpuan bukanlah rahasia yang harus ditutupi. Aku dan semua transpuan adalah manusia, yang memiliki hak yang sama untuk dicintai dan dihargai seperti manusia lainnya.
Aku ingin merasa bangga dengan pasanganku dan aku ingin dia merasa bangga berpasangan denganku. Aku ingin dapat memegang tangan pasanganku di tempat umum tanpa rasa takut atau malu. Aku ingin bisa berbagi cerita tentang hubungan kami dengan teman-teman dan keluarga tanpa harus berbohong atau membuat alasan mengenai kedekatan kami.
Sejujurnya, ada saat-saat ketika aku merasa putus asa. Ada saat-saat ketika aku merasa mungkin lebih mudah untuk berhenti mencari cinta. Tapi kemudian aku mengingatkan diriku sendiri bahwa aku juga berhak mencintai dan dicintai. Aku berhak mendapatkan hubungan yang penuh dengan rasa hormat dan kasih sayang.
Meski banyak tantangan dan rintangan, aku akan tetap berjuang dengan penuh harapan. Aku percaya bahwa cinta, pada akhirnya, adalah untuk semua orang, termasuk aku dan semua transpuan. Aku dan semua transpuan berhak mendapatkan cinta dan dihargai, bukan dijadikan bahan ejekan atau dikucilkan dari ruang-ruang yang seharusnya juga menjadi milik kami. Dan aku berharap, suatu hari, lebih banyak orang akan bisa melihat dan mengerti hal ini.