A Photography Exhibition
Serial foto yang disajikan di dalam pameran ini adalah cerita soal manusia yang sederhana saja. Kita disajikan cerita Rahmad, Said, Mirna, dan Indri yang mengais rezeki di toko kue, menjadi tukang, atau meracik nasi goreng. Kita tak lantas akan menjumpai perbedaan dalam layanan atau kualitas produk mereka hanya karena orientasi seksual atau identitas gender mereka berbeda.
Kita disajikan cerita lautan nan keras yang buat Lisa menyediakan upah setara dan kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri. Tapi kita juga maklum bahwa hidup mereka tak lantas jadi sederhana buat mereka yang melakoninya sebagai kelompok minoritas gender dan seksual. Itulah yang misalkan terjadi pada Amora dan banyak orang lain sepertinya yang mengalami mulai dari penolakan, diskriminasi, hingga kekerasan fisik.
Serial foto dalam pameran ini adalah cerita cinta yang intim antara fotografer dengan subyek fotonya. Maka tersebutlah Rayhana Anwarie yang menyajikan cerita kekasihnya So’na–yang tak habis-habis memberi meski kerap mengalami diskriminasi. Atau cerita Dew Djatola yang berusaha betul menangkap kelembutan dari tambatan hatinya: Dinda. Dengan kata lain, kita disajikan kedalaman dan emosi yang rasanya pernah kita semua alami saat jatuh cinta untuk pertama kali dan pada kesempatan lain setelahnya.
Semua pengalaman ini hadir dari tangan pertama, juga dari para sekutu dan kepercayaan. Sepuluh fotografer dari wilayah Indonesia timur ini menggemakan cinta lewat foto – tentang mereka yang hidup dalam stigma di tengah masyarakat, dan kini mengambil alih kendali untuk bercerita tentang perjuangan memastikan hak-hak dasar mereka terpenuhi.
Hak dasar sebagai manusia. Untuk berkarya. Untuk berekspresi. Untuk merayakan hidup.
Serial-serial foto ini adalah ruang aman tempat kita berjumpa. Tempat subyek dalam foto menawarkan cerita-cerita tanpa penghakiman, tanpa perantara. Tempat dialog dengan pengunjung dibangun dan semoga bisa juga menjadi tempat untuk mengikis kebencian dan syak wasangka. Merintis jalan untuk pemenuhan serial foto ini sederhananya adalah cerita soal cinta, manusia, dan suara-suara yang bergema di antaranya.
These photo series in the exhibition are stories of human beings. We learn about Rahmad, Said, Mirna, and Indri who work in a bakery shop, as a craftsman, or cook fried rice. We will not see any difference in the service and quality just because they have different sexual orientation or gender identity.
We learn about the hardship in the sea through Lisa, who is able to earn money and an opportunity to become herself. But we are also aware that life is not easy for those from sexual and gender minority groups. That happens to Amora and many others like her who face rejection, discrimination to physical violence.
These are intimate photo series between the photographers and the subjects. There’s Rayhana Anwarie who tells a story of So’na, her lover, who continuously gives to others regardless of the series of discriminations that she experiences. Or stories from Dew Djatola who tries to capture the gentle side of his beloved Dinda. We see some depths and emotions that we all experience when falling in love for the first time or the following afters.
These photos come first hand from the queer communities and from the allies. Ten photographers from eastern part of Indonesia buzz love with their photos – about those who live under the stigma in the society and now take full control to tell their own narrative about the struggles for their basic rights.
The rights of human beings. To work. To express oneself. To celebrate life.
These photo series are our safe space to meet with each other. A place where the subjects in these photos offer their stories, without being judged, without mediation. A place to create a conversation with the audience and hopefully will be a place to put away hatred and prejudices. A pathway to stories of love, human beings and everything that buzzes in between.