Ilustrasi oleh Hafizh Dhiyaulhaq
Semburat lembayung senja menyambut datangnya malam di pantai Sanur. Beragam kepala hilir mudik. Ada kepala kisaran 5 – 6 tahun, tidak sedikit yang sudah kepala dua, tiga, empat bahkan lima ataupun lebih. Semuanya tumpah ruah di bibir pantai sore itu. Mungkin karena hari libur anak sekolah, berbondong-bondong berkumpul menikmati suasana sore ceria. Sepasang kepala tampak berjalan beriringan dan menempati posisi pojok bibir pantai. Aku berada di tengah, di antara sepasang sejoli itu. Semuanya heteroseksual; perempuan-laki. Sungguh suasana yang menjemukan! Mungkin ada di antara gerombolan kepala itu yang isi kepalanya menyukai transpuan atau bisa jadi suka sesama perempuan; suka sesama lelaki; atau bahkan keduanya. Bisa jadi kan!
Tapi siapa yang bisa menebak isi kepala orang? Di luar sana, adakah yang bisa mengendalikan semua kepala-kepala itu? Dukun atau ahli hipnotis sekalipun aku rasa tidak bisa menguasai bahkan mengontrol semua isi kepala. Lalu adakah di antara kita yang bisa menebak siapa yang kita sukai? Bisa jadi kan ternyata sepasang sejoli yang duduk di sebelahku itu ternyata lelakinya lebih menyukai lelaki ketimbang perempuan, kekasihnya itu. Siapa yang bisa menebak isi kepalanya?
Makanya aku suka heran ketika ada orang yang menyalahkan orang lain yang punya ketertarikan berbeda. Lelaki suka sesama lelaki dianggap laknat, pun begitu pula menjadi transpuan ataupun translelaki dianggap melanggar kodrat. Lalu pegangan hidup yang mereka anggap ideal jadi landasan pacu melanggengkan praktek kekerasan verbal dan mengamini kekerasan fisik dengan mengatasnamakan Tuhan yang diagung-agungkan!
Deburan ombak sore itu menyadarkanku akan besarnya alam raya ini. Akankah di bawah laut sana ada kepala yang isinya homo? Adakah para penyembah kotor yang merasa dirinya benar lalu menghakimi seisi lautan samudera itu?
Bukan tidak mungkin tangan-tangan kerdil yang suka membuang sampah sembarangan ke lautan itu beranggapan bahwa semuanya bisa diselesaikan hanya dengan membuang saja tanpa memikirkan akibat ke depannya. Begitu pula omongan tanpa empati yang menyudutkan keberadaan orang lain tanpa memikirkan efek psikologis dari orang yang dilaknat-laknatkan, yang dianggap melanggar kodrat!
Di balik isi kepala dari berjubel yang hadir di pantai Sanur itu, aku yakin ada di antara mereka yang mencintai transpuan atau bahkan menyukai sesama jenis! Jangan salah. Transpuan yang berpenis pun suka dianggap sama orang-orang sebagai sesama jenis, dianggap tetap lelaki. Padahal kan isi kepala dari lelaki yang mencintai transpuan juga punya rasa kagus selayaknya kekaguman atas perempuan yang terlahir dengan vagina.
Perempuan berpenis dan tak berpenis. Sama-sama perempuan. Sama-sama punya dominasi feminin dalam dirinya. Lalu ketika orang berkembang tumbuh dengan dasar cinta apakah itu patut disalahkan karena cintanya dianggap berbeda dengan cinta yang definisinya dipahami kebanyakan orang? Apakah Tuhan mereka hanya milik sekelompok orang heteroseksual semata saja? Beribu pertanyaan muncul saat sore itu, aku duduk mencermati tiap deburan ombak sembari kulalap jajanan gorengan. Tak lupa sengaja kutaruh kembali bekas bungkusan gorengan itu. Maksud hati, nanti akan dibuang di tong sampah. Sedih juga rasanya melihat orang-orang masih belum sadar betapa pentingnya tidak membuang sampah sembarangan, termasuk membuangnya ke laut. Botol-botol plastik yang tidak ramah lingkungan tidak semestinya dibiarkan atau dibuang begitu saja. Tapi, lagi-lagi ini persoalan tentang isi kepala dari beribu kepala yang berjejal di pantai Sanur sore itu.
Transpuan dan teman-teman queer-nya suka sekali dianggap sampah masyarakat. Padahal sampah sekalipun bisa digunakan untuk bahan daur ulang, bahkan bisa menjadi pupuk kompos yang menyuburkan tanaman. Justru dari sampahlah ada kehidupan yang hakiki. Jadi sejatinya patut dipertanyakan lagi. Lebih mulia mana; mulut yang isinya sampah dengan menghujat manusia lain karena keberagaman gendernya atau sampah yang benar-benar bisa didaur ulang menjadi pupuk kompos?
Tanyakanlah pada isi kepala masing-masing. Aku yang sedari tadi menikmati senja sore di pantai Sanur juga mempertanyakan diri sendiri. Sudah sejauh mana aku menerima diriku ini? Pernah tidak di antara kita yang sudah berkepala tiga atau bahkan berkepala lima memertanyakan hakekat kita hidup di dunia ini?
Beberapa orang mungkin menemukan hakekatnya pada Tuhan. Lalu mendalaminya sehingga ada kata kunci antara benar-salah; halal-haram. Tapi, apakah semudah itu kita mengkategorikannya? Pikiran kita tidak bisa memilah secara absolut benar dan salah, begitu pula halal dan haram. Kalau ada yang menanyakan bagaimana dengan orang yang tak beragama? Sepanjang aku menghabiskan waktu lima tahun bolak-balik Eropa, aku melihat orang-orang Eropa tidak lagi mau ke Gereja. Banyak dari mereka yang merasa diri mereka tercerahkan karena tidak lagi dikungkung oleh agama yang kaku. Justru nilai memanusiakan manusia juga kesadaran untuk menjaga alam sekitarnya lebih bisa dibilang tinggi dan semuanya tidak sekedar omongan, tapi bisa dilihat dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Makanya hidup menjadi gay atau pun lesbian bisa dengan sangat merdeka di Eropa sana. Mereka bisa berdikari dan sukses dengan pilihan hidup mereka. Karena orientasi seksual mereka tidaklah jadi soal. Fokus pada pemberdayaan bakat dan mengasah kemampuan mereka sesuai dengan bidangnya.
Negeri nusantara ini di mana aku dilahirkan adalah negeri agraris yang demokratis. Begitu kira-kira gaungnya dalam sejarah kebangsaan, para pejuang negeri berkorban mempertahankan Bhineka Tunggal Ika. Sebuah falsafah kebangsaan yang lahir dari kearifan luhung yang akarnya lebih bisa dibilang berciri khas Hindu-Budha, ajaran pekerti. Baru belakangan kita mengkategorikan Hindu-Budha ini sebagai bentuk ajaran agama. Ajaran yang kini aku anut!
Ya, aku merasa terlahir kembali dalam ajaran Hindu sehingga kuputuskan untuk mendalaminya dan mengesahkannya. Jadi orang-orang di luar sana tidak harus memusingkan harus dimakamkan sebagai lelaki atau perempuan, karena sejatinya tubuh ini adalah sampah yang akan dilarung di laut lepas. Jiwa-jiwa dari isi kepala itulah yang sejatinya bereinkarnasi. Bersatu dengan alam. Berproses dengan alam. Jiwa itu masih hidup dan tak berkelamin lelaki ataupun perempuan, karena jiwalah kita punya rasa empati dan cinta kasih pada sesama.
Langit sudah kian gelap. Aku melangkahkan kaki kembali ke peraduan. Sudah saatnya mengembalikan diri pada realita. Ada banyak pekerjaan rumah yang harus kuselesaikan. Beberapa kepala di sana juga sudah mulai balik ke rumah mereka masing-masing. Di antara kepala yang masih bau kencur tampak elok menendang bentukan kepala lainnya. Tendangan itu hampir saja mengenaiku. Dia datang ambil itu bentukan kepala. Bulat terbuat dari bahan karet. Orang-orang menyebutnya bola. Itulah kehidupan! Seperti bola itu. Berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Tidak selamanya bergerak pada satu tempat. Pun hidup begitu, tidak selamanya kita senang ataupun sedih. Tidak selamanya pula kita merasa benar, dan bukan berarti kita salah. Apa yang bisa kita ambil dari hidup adalah pembelajaran. Belajar untuk tidak berhenti berkaca diri dan berkaca pada realita yang ada di sekeliling kita dengan menggunakan hati. Sungguh indah sekali jika kita bisa memulai dengan hal tersebut!
Sanur, Bali, Juni 2023.
Dari Manusia Yang Bisa Lepas Kepala