Ilustrasi oleh Hafizh Dhiyaulhaq
Di luar soal pendefinisian identitas gender yang melulu merujuk ke “barat”, bisakah kita sepakat untuk turut memvalidasi identitas-identitas gender lokal dalam lingkup kelokalan? Identitas-identitas gender yang sudah sangat familiar untuk mengidentifikasi individu ataupun kelompok masyarakat seperti waria, siban, travesti, calabai, calalai, bissu dan lain sebagainya, kurang tepat rasanya jika serta merta diterjemahkan begitu saja ke dalam bahasa lain yang sering kita jadikan kiblat, seperti misalnya transgender woman, transgender
Apa padanan kata queer sebagai identitas gman, gay, lesbian, queer dan lain sebagainya, tanpa menyertainya dengan konteks kelokalan.[1]ender di Indonesia? Atau apa itu transgender woman bagi para waria?
Apakah Pakaian Punya Gender? Bagaimana Dengan Cinta?
Seberapa sering kita meluangkan waktu untuk membongkar lemari pakaian kita? Menjembreng seluruhnya dan membiarkannya memuntahkan ingatan atas perjalanan hidup yang pernah kita lewati? Baik yang menyenangkan ataupun yang terasa pahit, merawat yang membuat kita nyaman dan membuang yang tak pernah kita harapkan untuk dipakai.
Sekali waktu, saya melakukan hal tersebut dan mengeluarkan seluruh pakaian yang ada di lemari, memilahnya berdasar seberapa sering saya memakainya. Tentu yang paling sering saya kenakan adalah kaos oblong, mengingat saya tumbuh dalam kantong-kantong komunitas yang biasanya memproduksi kaos sebagai salah satu upaya “bersuara”. Beberapa potong kemeja dan atasan perempuan yang biasa saya kenakan di saat menghadiri acara, dan dianjurkan mengenakan pakaian yang dianggap formal. Ada jas almamater kampus penanda status saya sebagai mahasiswa di salah satu universitas swasta di Yogyakarta, ada 3 jacket dan 3 potong celana jeans yang biasanya saya pakai saat bepergian cukup jauh. Pakaian khusus untuk ritual keagamaan nampaknya saya tidak punya, dan sisanya pakaian khusus sekali pakai sebagai properti saya di ruang pertunjukkan, itu pun biasanya langsung saya alih fungsikan sebagai material karya.
Di luar fungsi dasar pakaian sebagai pelindung tubuh manusia, saya sepakat jika pakaian memiliki fungsi yang terus berkembang seturut dengan ragam kebutuhan dan ketubuhan tiap individu yang unik, ataupun kebutuhan kelompok yang berupaya menyeragamkan diri. Pada level individu, tak jarang pakaian menjadi sesuatu yang bersifat eksklusif, bukan saja karena harganya, tapi juga karena pakaian tersebut difungsikan sebagai interpretasi penggunanya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka munculah produk-produk pakaian yang secara spesifik menargetkan penggunanya. Di luar keeksklusifannya, pakaian juga menjadi penentu status gender tiap orang, mengingat laki-laki dan perempuan memiliki struktur tubuh yang berbeda. Hal tersebut menjadi penegas yang membedakan pakaian laki-laki dan pakaian perempuan, maka tak heran jika cara berpakaian sebagian orang kemudian dianggap tidak wajar, terlebih saat laki-laki mengenakan pakaian yang dirancang untuk perempuan.
Produk pakaian yang bersifat genderless pun kemudian bermunculan, namun tetap saja, kemunculannya tidak kemudian mengubah pandangan biner atas pilihan berpakaian tiap individu. Hingga disadari atau tidak, pakaian sudah kadung digunakan sebagai representasi gender penggunanya, dan digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi identitas gender seseorang. Parahnya lagi, selera berpakaian seseorang tak jarang dikaitkan dengan orientasi seksual orang tersebut. Meski jelas, ekspresi gender bukanlah penentu orientasi seksual seseorang.
Sebagai non-biner, waria, queer atau apapun identitas gender yang dilekatkan pada saya, pilihan saya berpakaian tak pernah luput dari tatapan orang lain. Dalam satu lingkar pertemanan, ada yang mempertanyakan status kewariaan saya karena lebih sering mengenakan pakaian laki-laki, dan saya sempat dijuluki sebagai waria bongkar pasang (karena tidak 24 jam mengenakan pakaian perempuan), homo dandan (karena hanya waria yang dandan dan mengenakan pakaian perempuan), laki-laki malas kerja (karena bekerja sebagai pengamen), dan juga perempuan (karena transgender perempuan adalah perempuan). Dalam lingkar pertemanan lainnya, secara terang-terangan merasa geli dan terganggu melihat saya mengenakan pakaian perempuan. Hal tersebut tentu erat kaitannya dengan nilai dan norma yang mereka pahami dan gunakan, dan tentu saja ada lingkar pertemanan yang sama sekali tidak peduli atas apapun yang saya kenakan, selama hal tersebut membuat saya nyaman. Lingkar pertemanan seperti ini yang masih sangat jarang kita ciptakan, hingga masih banyak orang-orang non-biner yang mendapat perlakuan diskriminatif hingga membatasi lingkar pergaulan yang menghambat potensi diri sejati mereka dalam mengaktualisasikan dan mengoptimalkan keterampilan hidup yang mereka miliki.
Ragam lingkar pertemanan atau pergaulan yang saya ciptakan, tentu membuat saya jauh lebih fleksibel dalam berpakaian atau berpenampilan. Kompromi-kompromi yang saya lakukan dengan diri saya pribadi dalam menjalani interaksi sosial yang kompleks tidak kemudian mengubah identitas diri sejati saya. Dan waria yang saya gunakan sebagai identitas gender saya, saya pahami secara sederhana sebagai sebuah akronim, wanita-pria. Secara biologis, saya memang dilahirkan dengan penis, secara sifat, saya merasa memiliki kedua sifat yang melekat pada semua orang, feminin dan maskulin, soal pakaian, kita belum punya pakaian khusus untuk waria bukan? Jadi saya memilih untuk tidak bersikap kaku terhadap diri saya, toh tak ada satu orangpun yang seratus persen memiliki sifat feminin, dan sepenuhnya memiliki sifat maskulin. Kedua sifat tersebut tentu sangat lentur dan mudah ditukar perankan dalam pergaulan sehari-hari.
Bersikap fleksibel dalam berpakaian, memang tak melulu membuat saya merasa jauh lebih mudah dalam hidup. Pola pikir yang biner, menciptakan tantangan tersendiri dalam hubungan sosial, salah satunya hubungan asmara saya. Latar belakang saya sebagai pengamen dan pekerja seks yang sering tampil dengan riasan dan pakaian perempuan, nampaknya sudah sangat melekat dalam benak banyak orang, daya tarik saya di masa lalu seringkali diromantisasi dan dijadikan pembanding atas tampilan saya sekarang. Hal tersebut tentu berpengaruh pada calon-calon partner hidup saya yang berusaha mendekati saya. Mereka tampaknya ragu, jenis manusia seperti apakah saya? Dan kemanakah arah orientasi seksual saya? Meski demikian, hal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi aktivitas seksual saya, terlebih di era sekarang sudah banyak sekali aplikasi kencan satu malam. Selama secara penampilan dirasa cocok, kita bisa segera sepakat untuk mengadu hasrat.
Walau jauh dari kehidupan asmara yang diharapkan, memilih pasangan memang tidak semudah memilih pakaian di lemari, terlebih pilihan-pilihan hidup saya yang tak jarang membuat orang-orang di sekitar saya kebingungan, apalagi orang asing yang baru mau mengucap salam dan berusaha masuk ke dalam kehidupan pribadi saya. Kita bisa dengan mudah mengklasifikasi pakaian kita di lemari, dan mengidentifikasi jenis-jenis pakaian yang kita miliki, namun cara tersebut tidak bisa digunakan terhadap manusia. Identifikasi terhadap manusia mungkin saja berguna untuk bidang-bidang tertentu sebagai data, tapi tidak untuk kehidupan asmara yang seringkali di luar nalar kita yang dibatasi. Dan ya, cinta memang tidak memiliki batasan, cinta adalah bahasa universal yang paling sederhana, kita saja yang seringkali membuatnya rumit karena didasari harapan-harapan pribadi yang dibebankan pada orang lain, hingga saat cinta dipersempit maknanya, ego-ego pribadilah yang menungganginya.
Jadi, alih-alih meratapi kehidupan intim asmara yang keberpihakannya sangat kecil terhadap diri saya, memilih untuk mencintai diri sendiri jadi satu-satunya kunci untuk terus bersenang-senang dalam hidup, dengan ataupun tanpa pasangan. Dan tentu, berbagi cinta pada semua manusia! Tanpa melihat identitas gendernya ataupun identitas lainnya yang sudah melekat ataupun dilekatkan.
[1] https://sains.kompas.com/read/2018/09/15/190900423/keberagaman-gender-di-indonesia?page=all