Kemurungan dan Sukacita Queer: Melekatkan Rasa Terhadap Pencari Suaka

Kemurungan dan sukacita queer: melekatkan rasa terhadap pencari suaka

Ilustrasi oleh Hafizh Dhiyaulhaq

Februari 2017. Saya janji untuk bertemu Kate di kampus. Saya bilang padanya saya bisa mengambil piket sebagai relawan selama dua hari kedepan. Saya kirim pesan padanya bahwa saya sudah menunggu di depan Leeds University Union (LUU). Tak sampai lima menit, saya lihat Kate. Dia bilang tidak bisa bicara terlalu lama karena masih banyak pekerjaan yang menunggunya. Saya mengambil handphone dan sebundel map yang diserahkan Kate. “Cek saja di hari selasa dan rabu, apakah kamu harus menghubungi seseorang. Jika ada yang bikin kamu bingung, kirim saja teks ke saya ya.” Saya mengangguk dan berjalan kaki kembali ke rumah.

Di rumah, saya bisa bergegas melepas mantel, sarung tangan dan topi hangat saya. Bibir dan kulit saya kering karena cuaca yang cukup dingin. Mungkin sebentar lagi turun salju, begitu pikir saya. Saya enggan untuk keluar lagi.

Saya menatap bundelan map di hadapan saya. Di halaman pertama saya melihat stiker Leeds No Borders dengan latar biru gelap. Leeds No Borders adalah kelompok dukungan sekaligus kelompok kampanye akar rumput di area Leeds. Salah satu kegiatannya adalah memberikan dukungan via telepon kepada orang-orang yang sedang dalam masa penantian terhadap pengajuannya sebagai pencari suaka di Inggris. Saya melihat ada satu nama yang perlu saya hubungi dua jam lagi.

“Hai, saya salah satu relawan Leeds No Border untuk hari ini dan saya melihat namamu untuk bisa kuhubungi. Bagaimana kabarmu?” begitu ucapku saat telepon diangkat.

“Ahh iyaa, betul. Terima kasih sudah menelepon saya. Kabar saya baik, meski punggung saya masih terasa sakit. Sepertinya saya tidak bisa bergerak cepat-cepat dan harus bertahan di kursi ini. Memang kursi ini lumayan nyaman dan setidaknya tepat di hadapan saya ada tivi. Jadi saya tidak terlalu bosan.” Pungkasnya sambil tertawa.

Kami berbicara sekira 30 menit. Dia bercerita bahwa dia belum mendapat keputusan tentang pengajuan suakanya sejak kurang lebih delapan tahun terakhir, dan dia perlu melapor ke Pengadilan Waterside setiap satu bulan. Dia berharap tahun ini dia bisa mendengar keputusan baik tentang status suakanya. Meski kadang dia rindu rumahnya di Afrika, tapi dia berharap bisa tinggal menetap di Leeds – dan dia masih khawatir jika permintaannya pada akhirnya ditolak. Dia pun bertanya pengalaman saya belajar di Leeds. Saya bilang tentang tantangan yang saya hadapi. “Ngga jarang, cuaca, makanan, aksen dan budaya yang berbeda membuat saya merasa terisolasi. Ini juga pertama kali saya merasakan bahwa saya ini orang Asia. Sebelumnya, saya ngga pernah benar-benar memikirkan ini.” Kami berdua terdiam sejenak, lalu tertawa. Meski ini pertama kali kami berbicara, tapi saya merasa sedikit membaik.

***

Sara Ahmed, penulis dan akademisi yang membincang teori queer, dalam bukunya The Cultural Politics of Emotion, kira-kira bilang begini: “Cinta punya relasi yang intim dengan kemurungan dan kehilangan; kegagalan untuk mengakui kemurungan dan kehilangan queer adalah kegagalan untuk mengakui relasi queer sebagai sebuah ikatan yang signifikan, penuh cinta.”

Dari perasaan terisolasi yang saya hadapi, saya ingin merasa sedikit membaik. Saya merasa lebih baik ketika saya bisa terhubung dengan ingatan dan pengalaman para pencari suaka, mereka yang lebih dulu dan lebih lama tinggal di sini.

Desember 2016. Saat membuat tugas esai kuliah tentang politik suaka di Inggris yang berbasis pada orientasi seksual dan identitas gender, saya menemukan nama Aderonke Apata. Pada 2004, Apata pergi ke Inggris setelah mengalami penangkapan dan penyiksaan dari polisi Nigeria karena ia dilaporkan tinggal bersama pasangan perempuannya. Ia dijatuhi hukuman mati dengan cara dirajam, berdasarkan keputusan pengadilan “syariah”. Ketika ia mengajukan suaka berbasis pada orientasi seksual, hakim menolak permintaannya dengan mempertanyakan kebenaran identitasnya sebagai lesbian. Penolakan ini tetap terjadi meskipun Apata telah menunjukkan relasinya yang saat ini dengan perempuan serta kerja-kerjanya sebagai aktivis LGBTQ. Identitas Apata dipertanyakan karena ia memiliki anak dan pernah memiliki relasi heteroseksual. Di kesempatan persidangan lainnya, Apata bahkan membagikan video atau foto dari aktivitas seksual dengan pasangan perempuannya sebagai bukti bahwa ia bisa masuk dalam kategori lesbian dalam pandangan hakim. “Saya merasa sangat direndahkan ketika saya dianggap berpura-pura menjadi lesbian untuk mendapatkan suaka ini.” ungkap Apata dalam salah satu pemberitaan di media.

Membaca dan menuliskan kembali cerita Apata, membuat saya bersedih dan melankolis; murung. Ketika saya melewati gay bar atau gay club sepanjang perjalanan menuju toko bahan makanan Sainsburry, saya mengingat pertanyaan yang diajukan pemerintah Inggris pada seorang perempuan lesbian pencari suaka dari Uganda tentang nama dan lokasi gay club atau gay bars, pesta atau parade gaymana saja yang sudah ia datangi. Dan selama saya tinggal di Leeds, saya hanya menikmati satu gathering yang ada di sebuah bar – dengan nama dan lokasi yang saya tidak bisa ingat lagi sekarang – sebagai rangkaian acara Leeds Queer Film Festival. Apakah saya sudah cukup queer?

Saya menolak mengikuti kuasa homonasionalisme yang sudah menginvalidasi perasaan queer saya tentang bagaimana seharusnya saya berasimilasi dan berperasaan dalam budaya gay barat dan kulit putih ini. Saya mengetik nama Apata di kolom pencarian facebook, dan menemukannya! Setelah me-request pertemanan, seketika dia langsung meng-approve.

Juni 2017. Saya mengirim pesan untuknya: “Hai, saya Yulia, dari Indonesia dan sedang studi di Leeds. Saya langsung menemukan namamu ketika saya mencari informasi tentang pencari suaka berbasis-SOGI di Inggris. Saya juga membaca banyak berita tentangmu. Saya hanya ingin menyapamu. Semoga kamu selalu diberi kesehatan dan energi yang banyak ya! Mungkin suatu saat saya bisa datang ke Manchester untuk bertemu denganmu serta para migran dan pencari suaka queer lainnya.”

“Terimakasih banyak telah mengontak saya dan terimakasih juga untuk sapaannya! Saya pun juga berharap kamu memiliki energi yang besar dan kesehatan yang baik ya. Tentu, kamu bisa datang kesini.” balas Apata. 

Ada rasa yang meletup-meletup di dada yang membikin tubuh saya bersemangat dan muka saya sumringah. Sebuah ode tentang berbagai ingatan masa lalu perihal kesedihan dan melankolis/kemurungan queer yang dapat terus melekat dan hidup di masa kini.

Agustus 2017. Waktunya saya kembali ke Indonesia. Karena kepayahan menyelesaikan tesis, saya tidak punya cukup waktu untuk datang ke Manchester bertemu Apata. Saya harus segera pulang. Saya mengetik “Aderonke Apata asylum” di mesin pencarian. Ternyata, Apata mendapatkan status suakanya! Ya, setelah tiga belas tahun! Ini rasa suka cita queer. Suka cita yang tak lepas dari perasaan murung queer yang panjang dan melekat bukan hanya pada setiap personal, tapi juga secara kolektif. Kelekatan ingatan yang diteruskan dan dihadirkan pada masa kini agar dayanya bisa senantiasa dihidupi dan dicintai. 

Related Posts

Scroll to Top