Ilustrasi oleh Hafizh Dhiyaulhaq
“Agama mengajarkan welas asih dan kemanusiaan,” begitu kata banyak orang beragama dan beriman. Tetapi realitasnya, begitu banyak wajah kebencian dan ketidakmanusiaan, terlebih provokasi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas atau identitas yang berbeda, yang makin sering kita lihat dalam praktik beragama dan beriman sebagian orang.
Bagi komunitas dan individu queer atau minoritas gender dan seksualitas, agama menjadi “monster” yang melahap kami dengan kebencian dan peminggiran yang demikian menakutkan. Nilai-nilai universal seperti cinta kasih, welas asih, rahmah dan perdamaian menjadi semacam omong kosong belaka yang tak memiliki makna apapun kecuali retorika lisan yang sia-sia. Sebab banyak dari kami sungguh jarang, untuk tidak mengatakan tidak pernah, merasakan apa itu cinta dan welas asih yang ditawarkan oleh narasi dan ruang agama. Tubuh kami dilabeli pendosa, pembangkang Tuhan, dan sudah pasti kelak menghuni neraka. Seolah Tuhan cukup diwakili suara-suara penghakiman manusia yang nir empati serta penuh kebencian.
Peminggiran, perisakan, bahkan ancaman pembunuhan dengan dalih agama dan Tuhan menjadi makanan sehari-hari buat komunitas queer. Banyak dari kami meninggalkan agama, bukan karena kami tidak beragama atau ber-Tuhan sejak mula, tetapi sebab ruang agama dan iman gagal menciptakan rasa aman, nyaman, penerimaan, dan cinta yang banyak dijanjinkan. Banyak dari kami mengalami religious trauma, atau trauma beragama, sebab orang-orang beragama lebih sering tampil memukul bukan merangkul, membenci bukan mengasihi, meminggirkan bukan memanusiakan. Janji-janji tentang agama yang mengajarkan umat manusia tentang cinta dan kemanusiaan seperti terseok-seok menemukan pembuktiannya. Tetapi Tuhan konon selalu hadir di tengah kegelisahan dan pergumulan-pergumulan yang dijalani manusia.
“Maaf saya tidak jadi sholat di sini. Tuhan saya tidak ada di sini,” kata seorang kawan transpria ketika dipaksa memakai mukena oleh seorang pengurus mushola.
Saya mengamini seluruhnya. Tuhan yang diyakini sebagai Sang Maha Kasih, rasanya tidak mungkin hadir memberi berkah-Nya di tengah keseluruhan bangunan sistem yang justru jauh dari pesan kasih, rahmah, dan keadilan untuk seluruh manusia. Apalagi sistem dan keyakinan yang jelas-jelas dipersenjatai hanya untuk meminggirkan, mendiskriminasi, dan mempersekusi orang yang berbeda. Keragaman identitas manusia, termasuk keragaman iman, gender, dan seksualitas, semestinya adalah bagian dari kebesaran-Nya yang tergelar di jagad raya agar manusia belajar saling mengasihi serta menerima dengan hati dan iman yang lapang dan terbuka.
Persoalannya, bagaimana kita bisa mendorong ruang iman yang membawa dan mempraktikkan konsep ilahi tentang welas asih sebagai ibadah sosial yang diimani sepenuhnya? Mungkinkah dinding penghakiman dan stigma terhadap identitas queer (minoritas gender dan seksualitas) bisa diruntuhkan? Lalu bagaimanakah kita bisa membangun jembatan welas asih di ruang-ruang iman yang inklusif untuk identitas queer?
Agama dan Mereka yang Di Pinggiran
Religion is a queer thing, tulis Elizabeth Stuart, seorang teolog Kristiani asal Inggris yang banyak menulis dan membangun tafsir Kristiani yang ramah ragam gender dan seksualitas. Agama adalah sesuatu yang ‘asing’. Narasi ini seirama dengan sebuah hadits dalam Islam: Bada’a-l-islāmu gharīban wa-saya’ūdu ka-mā bada’a gharīban, fa-ṭūbā li-l-ghurabā’i “Sesungguhnya Islam muncul pertama kali dalam keadaan asing, dan akan kembali dalam keadaan asing pula, maka beruntunglah orang-orang yang terasing.”
Dua narasi di atas hendak menekankan betapa kehadiran agama—apapun—pada mulanya adalah sesuatu yang demikian asing. Ia hadir untuk melawan status quo atau kemapanan yang lalim, tak adil, dan tak manusiawi. Para pembawa risalah agama, baik Muhammad, Yesus, Gautama, dan lain-lain, selalu hadir sebagai oposisi terhadap kemapanan yang menindas dan mencerabut kemanusiaan sejak lama. Agama menjadi queer sebab keberpihakannya pada yang lemah, rentan, dan dipinggirkan oleh kemapanan. Sehingga jargon agama seputar welas asih, rahmah, dan compassion bukan semata nilai yang datang dari ruang hampa, tetapi berakar dari kesejarahan teologis tentang membangun peradaban yang penuh kasih di mana setiap manusia dilepaskan dari belenggu penindasan yang mengekangnya, dan menjadi merdeka sebagai dirinya.
Identitas yang queer dengan demikian secara teologis justru mengingatkan umat beragama tentang jati dirinya sebagai pemegang risalah ilahi tentang revolusi peradaban yang menjadi jalan hijrah berjamaah: dari penindasan menuju kemanusiaan, dari kemapanan yang lalim menuju peradaban yang inklusif, dari ketertundukan terhadap sesama manusia (penindasan) menuju ketertundukan hanya kepada Tuhan di mana manusia menjadi merdeka dari kekangan sesama manusia, serta dari kebencian menuju cinta.
Mitos dan prasangka yang menempatkan identitas queer sebagai ‘musuh’ Tuhan dan agama dengan demikian justru terpatahkan secara teologis dan sosial karena kerentanan dan ketertindasan yang terus menerus harus dihadapi dan ditanggung oleh identitas queer. Sebaliknya, jika agama diyakini karena nilai-nilai universalnya tentang ‘menemani yang di pinggiran’, meninggalkan kelompok queer dari panggung keimanan justru merupakan sebuah pengkhianatan teologis, sebuah pengingkaran atas kesetiaan kepada Tuhan yang diyakini sebagai Sang Maha Adil dan Penuh Kasih.
Menuntun Ke Jalan Cahaya
Agama dan ruang keimanan yang tulus inklusif terhadap queer adalah ia yang dijalani bukan untuk mengubah orientasi seksual dan identitas gender seseorang. Betapa sering kita temukan narasi yang menyebutkan bahwa “Tuhan mencintaimu” kepada queer tetapi intensinya adalah untuk melakukan pemaksaan heteronormativitas. Upaya ini masuk dalam kejahatan kemanusiaan conversion therapy dalam bentuknya yang paling halus. Keagamaan yang inklusif tidak bertendensi untuk memaksakan tafsir kepada yang lain, tetapi semata upaya penerimaan yang memberikan ruang, menerima, dan mendukung dengan tangan yang terbuka.
“Menjadi queer itu juga bagian dari kesempurnaan yang telah Allah berikan kepada manusia,” kata Kiai Marzuki Wahid, dalam satu diskusi saya dengan beliau di hadapan mahasantri di Pesantren Kebon Jambu al-Islamy Cirebon, tahun 2020. Kalimat beliau merupakan bentuk afirmasi serta penguatan yang penting untuk terus digemakan sebagai bentuk penerimaan atas tubuh dan identitas queer dalam teologi.
Anggapan bahwa tubuh dan identitas yang queer adalah hal yang ‘menentang fitrah’, tidak sempurna, pendosa dan sebagainya, justru bertolak belakang dengan spirit keimanan universal yang menempatkan umat manusia serta segala ciptaan Tuhan dalam lanskap keragaman yang demikian kaya dan saling mengisi satu sama lainnya. Konsep ‘kesempurnaan’ dengan demikian hadir dalam wajah-wajah pelangi yang tak biner dan ‘itu-itu saja’.
Kesempurnaan manusia terletak di ruang-ruang perjumpaan dan dialog inklusif dengan yang identitasnya berbeda. Jalan ‘pertobatan’ bukan dihayati dalam wajah pemaksaan tafsir tunggal, atau pemaksaan identitas yang serba koersif dan eksklusif. Justru, menuntun umat manusia ke cahaya spiritualitas dan rahmat-Nya ditempuh manakala setiap umat manusia, apapun identitas gender dan orientasi seksualnya, iman dan keyakinannya, warna kulitnya, asal lahirnya, bahasanya, dan segala keunikan yang melekat dalam dirinya, diterima dengan penuh cinta dan welas asih, dirangkul dengan penuh kehangatan, dan diberdayakan dengan penuh penghormatan.
Hanya dengan jalan iman yang inklusif seperti demikian, janji-janji welas asih dan kemanusiaan yang agama janjikan dapat betul-betul dirasakan oleh seluruh manusia di bumi ini. Hanya dengan komitmen terhadap ‘cahaya-Nya’ yang tersedia untuk siapa saja, maka umat beragama dapat menjalankan misi sucinya sebagai makhluk dari Yang Maha Adil, dengan menjadi makhluk yang senantiasa berpihak pada cahaya keadilan dan kemanusiaan yang sejati, di mana saja, dan untuk siapa saja.
——————————————————————-
*Amar Alfikar adalah seorang aktivis queer lintas iman. Ia bekerja sebagai konsultan, periset, penulis dan editor lepas dalam isu keragaman iman, gender dan seksualitas. Ia menghabiskan belasan tahun nyantri di beberapa pesantren di Jawa Tengah, di antaranya: Pesantren Nurul Hidayah Kendal, Pesantren Tahfidzul Qur’an Al-Asy’ariyyah Wonosobo, dan Pesantren Edi Mancoro Salatiga.
Pada tahun 2016 ia menamatkan studi sastra Indonesia di Universitas Negeri Semarang, dan pada 2022 ia mendapatkan beasiswa penuh dari Chevening Scholarship untuk menempuh pendidikan S2 di University of Birmingham jurusan Theology and Religion. Pada tahun yang sama, ia dinobatkan sebagai salah satu dari 12 Youth Leaders in Asia Pacific oleh ARROW yang berbasis di Kuala Lumpur. Selain terus bekerja secara independen sebagai aktivis yang aktif menyuarakan isu keragaman, hak asasi manusia, dan dialog lintas iman, saat ini ia juga berkiprah sebagai dewan pengawas di Yayasan Azka Al-Fatih dan Pesantren Nurul Musthofa.
Beberapa karyanya yang sudah terbit: antologi puisi Sogokan kepada Tuhan (Lestra, 2013), antologi puisi Cahaya dari Kebun Kata (Taman Budaya Jawa Tengah, 2017), Narasi Memori: Suara-suara yang Dibungkam (editor, Gaya Nusantara, 2019), Sufisme sebagai Pijakan Cinta bagi Mereka yang Berbeda: Menyoal Keragaman Gender dan Seksualitas di Ruang Spiritual (dalam Seksualitas dan Agama: Dialog tentang Tubuh yang terus Tumbuh, YIFoS, 2019), Tafsir Progresif Islam- Kristen terhadap Keragaman Gender dan Seksualitas: Sebuah Panduan Memahami Tubuh dan Tuhan (GAYa Nusantara, 2020), Islam dan Tubuh-Tubuh Queer (editor, YIFoS, 2022), dan Queer Menafsir (Gading, 2023).