Ilustrasi oleh Hafizh Dhiyaulhaq
Sekitar 40 tahun yang lalu saya melela sebagai gay kepada semua orang. Keputusan itu merupakan langkah pertama saya mewujudkan perasaan dan kesadaran queer saya yang sesungguhnya sudah saya rasakan sejak saya sadar akan gender-seksualitas saya.
Istilah queer dalam sejarahnya punya berbagai makna. Untuk pengalaman saya melela total, queer pertama-tama merujuk pada orientasi seksual gay. Orientasi gay dalam bahasa Inggris a.l. disebut queer, yang pada waktu saya melela, yang kebetulan terjadi ketika saya sedang studi doktor di Amerika Serikat, berkonotasi negatif. Sejak tahun 1990-an istilah queer direbut oleh aktivis dan akademisi yang berkecimpung dalam keberagaman gender-seksualitas nonnormatif dan dimaknai ulang sebagai positif dan membanggakan. Makna lain queer adalah melawan, tidak hendak tunduk atau menyesuaikan diri dengan norma para penguasa, termasuk dengan gay dan lesbian yang demi diterima oleh mayoritas menghindari ekspresi gender-seksualitas yang “tidak terhormat.”
Pada masa saya melela itu tentu saja sudah ada gay yang terbuka kepada kawan-kawan dan pasangan seksual atau romantisnya, tetapi masih belum umum untuk melela total, terutama dalam masyarakat Indonesia. Tetapi saya teryakinkan dari bacaan gerakan pembebasan gay bahwa homoseksualitas tidak salah, dan bersifat setara dengan ragam-ragam seksualitas lainnya. Saya teryakinkan bahwa yang salah bukanlah “minoritas”, tetapi mayoritas yang tidak dapat membuka hati dan pikiran untuk menerima kami. Ini konsisten dengan posisi yang belakangan disebut queer. Bahkan saya ikut berpandangan bahwa pengaturan relasi seksual dan romantis masyarakat mayoritas patut dilanggar. Pandangan ini sebetulnya bukan hal baru, muncul dengan nama free love (cinta bebas) pada dekade-dekade awal abad ke-20.
Dalam praktik sehari-hari saya pun menjalani hidup sesuai dengan cara berpikir itu. Walaupun tidak terlalu sering, karena di Amerika saya tinggal di kota kecil dengan hanya satu bar gay, saya pun menjalani kehidupan gay dengan pergi ke bar di akhir pekan, beberapa kali bertemu laki-laki lain yang sama-sama suka, dan biasanya langsung cari tempat untuk berhubungan seks.
Hubungan itu kadang hanya sekali saja (one night stand), kadang berlangsung dengan persahabatan seksual beberapa pekan. Saya pikir wajarlah kalau saya merasa puas berhubungan seks dengan seseorang, saya ingin mengulanginya, walaupun orang itu kadang tidak mau bertemu lagi sesudah hanya satu kali saja atau beberapa kali.
Syarat free love adalah tidak adanya rasa cemburu. Dalam bacaan dan wacana di kalangan orang-orang gay waktu itu, rasa cemburu dipandang negatif, dianggap sisa dari konsep hak milik dari sistem kapitalis, dan secara psikologis menunjukkan ketidakpedean.
Tahun 1981, saya berkesempatan pulang ke Indonesia untuk bekerja selama 3 bulan. Di waktu luang saya bertemu dengan kawan-kawan queer baru, kebanyakan gay dan waria. Bersama kawan baru yang gay, saya sempat menjalin hubungan sesaat saja, menjurus ke persahabatan atau perpacaran. Untuk pertama kalinya saya menghadapi kemungkinan perasaan cemburu yang tidak saya alami ketika satu setengah tahun di Amerika.
Ketika tahun 1982, saya pulang lagi selama setahun untuk mengumpulkan data bahan disertasi dan saya bertemu dengan kawan-kawan queer di waktu senggang. Kebetulan juga pada 1 Maret 1982, saya mendirikan Lambda Indonesia, organisasi gay pertama di Indonesia yang terbuka, inspirasinya saya dapatkan dari organisasi-organisasi waria yang sudah berdiri sejak akhir tahun 1960-an.
Saya pun bertemu dan menjalin hubungan dengan seorang gay dari salah satu komunitas di Surabaya. Kali ini relasi kami berkembang jadi serius, dan sempat berlangsung selama 21 tahun. Pada awalnya saya dengan senang hati menerima syarat yang tak pernah disebutkan untuk saling setia. Acuan saya adalah relasi heteroseksual arus utama yang diidealkan sebagai monogami dan berlangsung abadi.
Pertengahan tahun 1983 saya harus kembali ke Amerika untuk menyusun disertasi selama 1 tahun. Dengan perasaan berat kami pun menjalin hubungan jarak jauh. Rasa rindu saya obati dengan menulis surat atau kartu pos setiap hari, meskipun balasan dari pacar saya tidak setiap hari.
Pada pertengahan tahun 1984, saya pun selesai studi dan pulang untuk menjalani kehidupan rumah tangga. Dalam banyak hal kami seperti pasangan heteroseksual. Maka sifat queer relasi kami hanyalah bahwa kami berdua laki-laki, dan kami hidup serumah tanpa surat nikah.
Sesudah 2 tahun tinggal bersama, pacar saya mulai mengajak orang ketiga untuk berhubungan seks dengan kami. Saya senang-senang saja, karena pernah juga melakukan hubungan bertiga begitu waktu tinggal di Amerika. Hubungan perkawanan seperti ini berlangsung beberapa kali, dan dua kali sempat berkembang perasaan cinta romantik, yang sekarang lazim dinamakan poliamori. Hubungan bertiga ini berakhir karena salah satu pihak bosan (untuk kemudian diteruskan oleh dua dari tiga orang, baik secara terbuka maupun sembunyi-sembunyi).
Saya juga pernah menjalin hubungan terbuka, artinya apabila sedang tidak bersama, dapat melakukan hubungan seks dengan orang lain, tetapi tidak sampai berkembang menjadi hubungan romantik.
Dalam sistem nilai komunitas gay waktu itu (dan untuk sebagian orang masih berlaku sampai sekarang) ada konstruksi relasi yang meniru hubungan heteroseksual stereotipik. Gay, terutama yang feminin, diharapkan menjalin hubungan dengan “laki-laki asli.” Dalam kenyataan ini lebih rumit juga, karena hal itu lain di permukaan lain lagi dalam kenyataan. Saya dan pacar-pacar saya bahkan sempat dianggap “aneh” karena kami berdua (atau bertiga) gay. Maka ini bisa dikatakan bersifat queer juga.
Satu hal lagi yang bisa dikatakan queer dalam seksualitas saya adalah soal teknik seksual. Stereotip yang ada di komunitas gay adalah yang “laki-laki” melakukan penetrasi (anal, oral) (top) kepada yang feminin (bottom). Dari awal saya tidak nyaman dengan seks anal, bukan karena takut rasa sakitnya, melainkan merasa bahwa itu bukan untuk saya. Saya lebih nyaman dengan teknik-teknik yang nonpenetratif, dan mementingkan kemesraan dalam berhubungan seks. Sekarang pada aplikasi kencan seperti Grindr ada pilihan yang bukan top atau bottom, melainkan sides. Pernah saya berbagi tentang hal ini dengan dua lesbian muda Indonesia yang bermukim di Bangkok, dan mereka berkomentar bahwa tampaknya saya adalah “lesbian yang terperangkap dalam tubuh gay.” Saya senang sekali dengan komentar ini.
Masih banyak lagi detail-detail seksualitas saya yang queer dan dapat disebutkan, seperti hubungan beda umur (mulai 15 sampai 40 tahun), penggunaan alat bantu atau permainan seks, khayalan tentang orang lain waktu berhubungan seks, sado-masokisme ringan dan lain sebagainya, yang bahkan di komunitas gay dipandang sebelah mata oleh sebagian orang.
Bagi saya, yang penting adalah saya dan pasangan seksual atau romantik saya merasa nyaman dengan apa pun yang kita lakukan, dan disepakati bersama tanpa ada paksaan apa pun.
Surabaya, 7 Juni 2023